Mata-mu.

Matamu, lihai mengacak-acak isi kepalaku. Tanpa tahu diri dan tahu waktu. Pun jeda nan seenaknya.

Matamu, menarikku jalang tanpa peta untuk pulang. Membungkus sesak tanpa mampu bersajak. Menghimpit risak tanpa ada jarak.

Matamu, berapa harga yang kau tukar pada Tuhan untuk sepasang matamu?

Karena sungguh,

Dalam matamu, rela ku tersesat dalam khidmat. Terjerat hingga sekarat. Menghamba hingga berkarat.

Matamu. Cukupku mengadu pada matamu. Ia lebih tahu dari segala tahu. Memulihkan sempurna, hingga lupa ku hanya sebatas perca.

Matamu. Bolehkah ku bermanja? Menanusiakanku bak manusia. Melelapkanku dalam terjaga.

Ini aku,

Porak poranda.

Riuh ramai setipis gila.

Pun rela dalam sengsara.

.

.

.

Penikmat sunyi, dalam sepasang matamu.

Juara satu merindukanmu

Adalah kamu apa itu candu

Satu waktu tanpa bersua, seluruhku mati rasa

Takkah kau baca? 

Persajakku terbentuk dari segala unsurmu?

Kulewati pukul satu sembari mengutuk waktu

Utuh haluku tak mau lalu

Berharap nanti menjadi kini

Hingga hari mata beradu  
-juara satu merindukanmu-

Tahu (?)

“Aku tahu.” Katamu.

“Tahu apa?”

“Semuanya.”

“Hahaha gila!” Ledekku.

“Aku tahu apa yang mereka tahu, bahkan aku tahu apa yang mereka tidak tahu.” Lanjutmu yakin.

“Congkak. Siapa kamu? Tuhan?” Balasku ketus sembari melengoskan mata darinya.

“Tak perlu jadi Tuhan untuk tahu hal hal gila.”

“Baiklah, tapi ayo bertaruh. Pada satu hal yang takkan pernah kamu tahu tanpa aku yang memberitahu.” Tantangku.

“Apa itu?”

“Takkan ku beritahu. Hahaha.”

“Sialan kamu. Oke, aku pasti akan tahu. Sebelum aku mengalahkan waktu, jangan pernah memberitahuku!.” Jawabmu.

“Pasti. Karena memang itu yang aku mau. Kamu tahu tanpa harusku beritahu. Karena…..” Tatapku lekat pada mata bulat seraya menahan lumat.

“Karena….?”

“Itu satu syarat agar khidmat tetap lekat.”  Singkatku.

“Hmmm. Kamu tahu? Sepertinya aku tahu.”

“Apa?”

“Takkan ku beri tahu. Agar khidmat tetap lekat. Hahaha.” candamu.

“Apasih.. Sudah gila ya? Hahaha”

“Pokoknya aku tahu, dan kita sama sama tahu.” Kamupun tersenyum.

“Yah.. Semoga begitu. Kita sama sama tahu.” Tutupku seraya hisap satu sesap terakhir.

Terjaga

Lagi-lagi aku terjaga

Ramai

Bersama diam dan kata yg merajalela

Kamu mencarimu?

Sajak-sajaku menggaungkanmu lebih dari kamu mencari mu

Porak poranda tanpa kemunafikan

Dalam per sabdamu aku menghamba

Ganjil

Ku melihatmu, tanpa hadir mu hadapku

Hingga kesekian kali ku terjaga

Mimpiku akanmu dalam nyata

Lari

Ruang ini riuh..

Padahal pukul masih terbilang cukup hijau. Entah apa yg membuat orang orang ini beranjak dan mau maunya melangkahkan kaki ke ruang sekitar berapa ratus kali berapa ratus meter ini menunggu sang burung besi.

Seperti seorang ibu ibu ber-rok kuning dengan dua anak dan suaminya yg botak di depanku. Atau bapak bapak berbaju kotak-kotak biru di sebelah kananku yang lebih memilih membaca koran virtual dibandingkan digital di tangannya. Atau wanita muda dengan gadgetnya. Kutebak dengan seluruh kesoktauanku, ia sedang merekam gambar gerak dengan filter hewan tertentu utk di posting di sebuah media sosial tertentu. Sepertinya sih begitu.

Namun dari semuanya, anak laki-laki bertopi biru yang paling membuatku iri. Ia asyik berlari-lari tanpa mengindahkan orang2 disekitarnya sambil tertawa lantang hanya dengan dirinya.

Aku iri. Padahal aku, yang di sini utk berlari. Melarikan diri lebih tepatnya, dari kericuhan kamu di kepalaku. Tapi malah anak itu yg berlari-lari. Bahkan kini ditambah kamu, yang ikut berlari mengejar dan merambah riuh isi kepalaku.

Sebagaimana ruang ini. Pun Kepalaku kini riuh. Masih segala perihalmu.

Mulai gila(?)

“Jadi.. Apa kamu cinta?” Tanyanya tiba-tiba mendesak. Membuatku hampir tersedak.

“Pertanyaan risak itu lagi??? Baiklah.. Jika jawabannya ialah iya ketika aku bergetar setiap mengingat sosoknya, rindu selalu menghidu aromanya, senantiasa menyiasati bahagianya di atas segalanya, serta tetap mengadakan keberadaannya di tengah ketiadaannya, mungkin memang benar, iya, aku cinta”. Jawabku sesak. “Tapi juga entahlah, tak perlulah ku takrifkan apa yang ku rasa, toh juga tak akan aku lafadzkan di hadapannya”. Lanjutku.

“Mengapa?”. Tanyanya seraya mengerinyitkan dahi.

“Ya kau tahulah mengapa. Pun aku puas mencinta dalam senyapku. Puas memantaunya dari jarakku, menjaganya dalam doaku, mengindahkannya dengan caraku, tanpa perlu dia tahu, tanpa harus, jua haus menyandanginya. Lagipula…..”

“Lagipula…. Apa?”

“Kau tahu. Aku tak punya kuasa…”. Balasku singkat.

“Ah perihal itu lagi”. Jawabnya ketus. “Kau tahu? Bahkan pahitku ini tak lebih pahit dari kisah yang selalu kau curahkan dalam per-sesapmu!”.

“Hahahaha. Tak apa”. Jawabku tertawa. “Secangkir kamu, cukup untuk membuatku terjaga, dan menjagaku dari petaka gila. Terima kasih”. Segera ku sesap habis ia hingga ampasnya muncul ke muka.

Dan ah, akhirnya dia diam juga.

Tak berisik menanyakan perihal dia lain yang ku cinta, lagi, lagi, dan lagi.

Tapi,

tunggu…..

Ah! Apa aku mulai gila?!
.

.

Tamat.

Pekat

Aku suka memanggilnya pekat.

Selain sebagaimana memang itu yang terlihat, tentu aku punya sebab yang cukup kuat.

Pun karena ia lekat.

Dalam satu kisah tanpa tamat.

Racau

Teruntuk dia yg sama pun tak sama.

Pernakah mati di sela kata tak digubris doa?

Dalam meng-amin-pun ku tiada asa.

Yang kutahu semua ini malapetaka.

Berujungku berserah  ala harap semata.

Semoga kala cukup sementara.

Sanksi logika sadarkan mata.