Sang terlalu dan bayarannya

life-is-a-balancing-act “Karena segala sesuatu yang dilengkapi terlalu, hanyalah pinjaman yang harus dibayar juga dengan terlalu”.

Aku belajar itu dari hidupku, dan aku tidak pernah mengingkari hidupku. Tidak akan pernah lagi, lebih tepatnya.

Dulu, aku pernah dengan sombongnya berdiri tegak terlalu bahagia.
Lihat kata di depan tepat sebelum kata bahagia?

Ternyata itu pinjaman.
Pinjaman untuk kita dari Sang Penguasa Kehidupan.
Seperti bulan yang harus digantikan siang pada waktunya, seperti isak yang digantikan gelak pada waktunya, dan seperti hutang seseorang kepada rentenir yang harus dikembalikan tepat pada waktunya. Kalau tidak? Siap-siap, kau akan menerima ganjarannya. Continue reading

“Jadi? Kau menemuinya lagi?”

“Yah.. begitulah..”

“Lalu? Bad? or good?”

“Menurutmu?”

“Pasti bad, makanya kamu mengajakku menemuimu disini hahaha”

“Keberatan?”

“Apa ada kata-kataku yang menyatakan bahwa aku keberatan tadi?”

“Baguslah kalau begitu..”

“Kau memang menyebalkan..”

“Terima kasih”

“Hei itu bukan pujian.. hahaha”. Tawanya sambil mengacak-acak rambutku seperti biasa..

“Maaf ya, aku hanya mengikuti instingku”. Ucapku lirih.

“Ya aku tau, instingmu memang meyebalkan”.

Akupun diam, mengalihkan pandanganku kecangkir kopi hitam pekat dihadapanku dan menyeruputnya perlahan..

“Bagaimana rasanya?” Dia kembali bertanya sambil menyenderkan tubuhnya ke sandaran kursi bernuansa kayu yang menopangnya.

“Hm? Pahit” Jawabku datar

“Itu jawaban untuk kopi hitam itu atau pertemuanmu tadi? hah? hahaha”

“Dasar sial hahaha memang apa yang kau tanyakan? itu jawaban yang tepat untuk keduanya, sebenarnya”. Balasku sambil menaruh kembali cangkir kopiku ke meja bernuansa kayu sepadan dengan kursi kayu yang kamu duduki.

“Aku tahu rasa kopi itu pahit, mengapa tak kau pesan yang biasanya saja sih? Berlagak sekali jadi orang”

“Bawel, aku cuma mau mencari pahit yang lain untuk menghilangkan pahitku yang tadi”

“Hahahaha dasar lemah..” Ledeknya

“Bodo. Bawel!”. Balasku

“Hahahahaha.. Lalu bagaimana tadi pertemuannya? Apa yang kau dapatkan?”

“Hm? Jawaban..”

“Jawaban akan?” Tanyanya penasaran

“Jawaban akan dia, dan aku, setidaknya aku sudah bukan arwah penasaran lagi sekarang”.

“Dan kini jadi aku yang penasaran akan apa yang terjadi tadi”. Tanyanya sambil membenarkan posisi duduk dan menjentikan jarinya.

“Bukan hal besar kok… eh besar deng… eh tidak deng…” Aku menjawab tanpa memalingkan mataku kepadanya

“Dasar plin plan, kalau bukan hal besar, lalu apa-apaan mata merah dan bengkakmu itu?”

“Hah? Kamu bilang aku bengkak?!”

“Matamu! Matamu yang bengkak bukan kamunya, kalau kamu sih memang sudah dari dulu bengkak!” Ledeknya diiringi tawa yang mengesalkan

“Oh begitu.. oke. fine..”. Jawabku singkat.

“Baper deh.. Jadi bagaimana tadi aku serius menanyakannya”.

“Sudah tidak apa, singkatnya, aku melihat warna aslinya yang hitam pekat, aku kasihan padanya, dia menyalahkan Tuhan akan semua yang terjadi. Dia berlindung dari balik nama Tuhan. Namun dengan cara yang salah.. Dia melindungi diri melepas tanggung jawab dengan menggunakan nama Tuhan, lebih tepatnya. Salah satu jenis yang jauh lebih menjijikan daripada yang ku kira”.

“Dasar sial dia, berani sekali.. Lalu bagaimana dengan mu?”.

“Sudah kubilang kan aku baik-bak saja, diriku menarikku. sepanjang perjalanan tadi aku mencoba untuk memaafkanku, agar aku bisa memaafkannya”.

“Sepertinya memang itu cara terbaik.. memaafkanmu agar dapat memaafkannya, itu semacam menghadiahi diri sendiri, untuk diri sendiri dan oleh diri sendiri”. Diapun menyeruput macchiatonya perlahan.

“Yap, semacam itulah.. Dunia jenaka juga ya terkadang”.

“Hahaha.. Tenang saja, aku bahkan pernah melihat orang yang dari luar terlihat tak berhati dan tak bertuhan, namun perilakunya justru menunjukan bahwa dia jauh lebih berhati dan berTuhan serta bertanggung jawab pada diri dan lingkungannya”.

“Banyak yang seperti itu, bukan hanya kamu, akupun begitu, pelajaran ini membuka lebar mataku. Mungkin dia hanya perlu lebih banyak belajar untuk berbagi dan menghargai, mengingat dia terbiasa hidup tunggal sendiri tanpa tuntutan untuk berbagi”.

“Ya, dan dia perlu belajar banyak mengenai kesalahan, sepertinya dia masih terlalu hijau untuk melihat dirinya mungkin saja melakukan kesalahan, tidak melulu orang lain seakan kebenaran hanya miliknya”.

“Kau benar sekali! Hahaha”

“Pastinya dong! Yang salah itu kau, bisa-bisanya tahan berlama-lama dengannya kemarin”

“Nah itu dia, akupun sulit membujuk diriku untuk memaafkanku sendiri akan kesalahanku tersebut”

“Lalu sekarang bagaimana? Masih dibujuk? Apa perlu bantuanku untuk membujukmu?”. Godanya seperti biasa.

“Hahaha menggelikan” balasku lengkap dengan mimik meledek ke-jijik-an. “Tidak usah repot-repot, aku sudah memaafkanku, tunggu 10% lagi, biar waktu yang membantuku membujukku”.

“Hahaha baiklah baiklah baiklah”. Dia pun tertawa, mengacak-acak lagi rambutku, lalu menyeruput habis kopi miliknya.