Kelancanganku

Setiapkali aku berkutat dengan puisi, halaman-halaman tebal berkisah roman ataupun satir beserta kawananya, sastra, sekelebat bayangmu dan seribu langkah kita dulu melewati jalanan-jalanan sekitaran Sabang siang-sore menjelang malam, entah bagaimana selalu saja datang tanpa tahu ampun di suatu hari tenangku. Belum lagi secangkir kopi hitam pekat yang melengkapi puisi dan halaman-halaman tebal yang seringkali kubaca (hanya) karena aku tahu kamu membacanya… Jangan ditanya, hampir membuatku gila.

Ya, aku merindukanmu dengan caraku, yang takkan pernah mampu kau pahami bagaimanapun. Dengan cara yang agak sedikit berbeda dibandingkan mereka yang beruntung dapat merasakan sekaligus mendapatkan bonus untuk mengungkapkan kerinduan yang mereka rasakan tersebut kepada subjek maupun objek yang bersangkutan. Tidak sepayah aku, meskipun aku lebih dari sejuta kali ingin dipangkat sejuta dan dikalikan sejuta kali ingin lagi untuk mengungkapkan rinduku kepadamu, aku masih menghormati hakmu untuk bahagia yang kau bilang berjarak dariku-lah (mungkin) satu-satu caranya.

Ku harap itu berhasil, dan kau memang betul bahagia, agar semua reruntuhan yang kau tinggalkan tepat di sekujur rasa dan ragaku ini tidak hancur berpuing dengan ke-percuma-an yang luar biasa begitu saja. Mubadzir, kalau kata orang tuaku.

Begitulah aku, dan begitulah aku dan caraku mengenyangkan rinduku padamu. Bersahabat dengan lembaran-lembaran kertas berisi roman, puisi, satir, maupun sastra (yang se-sok-tahuku kau baca) itu membantuku untuk (seakan-akan) dapat masuk kedalam pikiranmu, rasa semu mendapat kesempatan lagi untuk masuk dan membaca pikiranmu seperti lalu, membuatku agak sedikit bahagia. Membaca apa yang kau baca, selain membuatku berpikir “kira-kira apa yang kau pikirkan ketika membaca kalimat ini?”, juga agak sedikit berhasil membuatku merasa dekat dengan(pikiran)mu. Atau setidaknya berpikir aku membaca sama dengan apa yang kau baca sudah lebih dari cukup untuk membuatku merasa jauh lebih dekat denganmu lagi sebagaimana lalu.

Dan semua hal itu membuatku lebih tidak peduli pada pemborosan kata yang ku gunakan dalam penulisan ini.

Ya, aku tidak peduli, sebagaimana kau tidak peduli mengenai keseluruhan tulisan yang sepenuhnya, dengan kelancanganku, mengangkat namamu ini.

Gumam

“Biarkanku hidup dalam semu lalu

Dibandingku mati dalam nyata waktu

Karnaku telah mati tanpa henti detik jantungku

Dalam raga kini yang kau lihat sudi riang menari”.

.

.

.

Dan akupun tersedak oleh gumamanku sendiri..